
OTO Mounture — Kabar mundurnya LG Energy Solution dari konsorsium baterai kendaraan listrik (EV) di Indonesia menimbulkan tanya besar di tengah ambisi besar pemerintah mendorong transisi energi.
Meski begitu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memastikan bahwa pengembangan ekosistem kendaraan listrik tetap berada di jalur yang tepat.
“Pergantian investor adalah hal biasa dalam proyek skala besar,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita melalui keterangan resmi, belum lama ini.
Ia menegaskan bahwa Huayou, perusahaan asal Tiongkok yang bergerak di bidang material baterai lithium-ion, siap menggantikan peran LG dalam konsorsium.
Target Tetap Dikejar Meski Pemain Besar Hengkang
Meskipun LG, salah satu pemain utama industri baterai global—memilih hengkang, Kemenperin mengklaim bahwa target jangka panjang tidak berubah yakni memproduksi 9 juta motor listrik dan 600 ribu mobil serta bus listrik pada 2030.
Target ini diklaim mampu menekan konsumsi BBM sebesar 21,65 juta barel dan mengurangi emisi karbon sebesar 7,9 juta ton.
Namun, mundurnya LG tak bisa diremehkan begitu saja. Ketergantungan pada investor asing tetap menjadi pekerjaan rumah (PR) besar dalam membangun industri baterai nasional yang mandiri dan berkelanjutan.
BACA JUGA:
The Battery Show Indonesia 2025 Resmi Hadir, Dorong Akselerasi Transisi Energi Nasional
PEVS 2025 Hadirkan Konsep Baru B2B dan Dukung Pertumbuhan EV di Indonesia
Realisasi Produksi dan Investasi Masih Timpang
Saat ini Indonesia telah memiliki 63 perusahaan sepeda motor listrik, kapasitas produksi sebanyak 2,28 juta unit/tahun. Lalu 9 perusahaan mobil listrik, kapasitas mencapai 70.060 unit/tahun. Serta 7 perusahaan bus listrik, kapasitas 3.100 unit/tahun.
Total investasi mencapai Rp5,63 triliun. Angka ini terdengar besar, namun bila dibandingkan dengan nilai potensi industri EV global, Indonesia masih bermain di kelas menengah, jika tidak ingin disebut entry level.
Proyek Baterai Masih Bergantung pada Asing
Di sektor baterai EV, Hyundai dan LG (melalui PT HLI Green Power) sempat menjadi andalan, dengan investasi mencapai 1,1 miliar dolar AS untuk kapasitas 10 GWh. Namun kini, dengan LG keluar dari konsorsium, masa depan konsistensi dan kontinuitas proyek ini patut dipertanyakan.
Masuknya Huayou memang membawa napas segar, tapi juga memperlihatkan betapa Indonesia masih belum cukup menarik untuk mempertahankan investor papan atas seperti LG dalam jangka panjang.
Hilirisasi: Ambisi atau Ilusi?
Kemenperin menyebut bahwa seluruh agenda ini sejalan dengan hilirisasi nikel, bagian dari visi industrialisasi nasional. Tapi pertanyaannya: apakah benar kita sedang menciptakan kemandirian, atau sekadar menjadi penyedia bahan baku untuk negara lain?
Agus menyebut pentingnya daur ulang baterai dan integrasi industri dari hulu ke hilir. Tapi hingga kini, infrastruktur daur ulang baterai nasional masih minim dan belum menjadi perhatian utama pelaku industri.
Pemerintah sendiri telah menggelontorkan berbagai insentif, mulai dari PPnBM 0 persen, diskon listrik, hingga super tax deduction bagi produsen. Namun, insentif tanpa regulasi yang kuat dan roadmap yang realistis justru bisa menciptakan ketergantungan dan pasar semu.
(om/ril/ls)