OTO Mounture — Bila bicara jujur, siapa sih yang belum pernah dengar suara knalpot brong meraung di tengah malam, bikin jantung loncat dan kuping pengen mogok kerja?
Fenomena knalpot brong ini kayak penyakit musiman. Tiap beberapa waktu sekali, pasti muncul lagi, entah karena lagi tren, atau karena ada lomba sunmori dadakan yang bikin jalanan jadi sirkuit dadakan.
Buat sebagian orang, knalpot brong itu dianggap keren, simbol kebebasan, jati diri, atau mungkin cuma biar motornya keliatan “beda”. Tapi, beda yang satu ini justru sering bikin ganggu, bukan kagum.
Masalah utama dari knalpot brong bukan cuma soal polusi suara, tapi juga soal empati. Kita hidup di ruang bersama. Jalanan bukan milik pribadi, dan kuping orang lain bukan tempat uji coba decibel.
Bayangin, tengah malam lo lagi asik tidur nyenyak, tiba-tiba suara knalpot motor yang bising lewat depan rumah. Mau marah tapi yang lewat udah kabur. Ini bukan cuma soal kenyamanan, tapi juga soal kesehatan mental dan fisik orang lain.
BACA JUGA:
Harga Terjangkau Jadi Alasan ‘Kartini’ Indonesia untuk Pilih Wuling Cortez
LG Mundur dari Konsorsium Baterai EV, Pemerintah Klaim Target Emisi Tak Terganggu
Lucunya, banyak yang pasang knalpot ini bilang, “Biar lebih enteng, performa naik.” Tapi kalau ditanya, “Udah pernah ngetes di dyno?” langsung nyengir.
Realitanya, mayoritas pengguna knalpot brong bukan pembalap. Mereka ke kampus, ke warung, atau sekadar nongkrong. Jadi alasan performa itu cuma jadi pembenaran, bukan kebutuhan.
Lebih parah lagi, knalpot brong sering jadi pintu masuk ke gaya hidup ugal-ugalan. Ngebut di jalan, zig-zag di antara mobil, dan merasa paling jago.
Padahal, satu kesalahan bisa bikin nyawa sendiri dan orang lain jadi taruhannya. Mau keren, tapi kalau sampai celaka, siapa yang tanggung?
Dan pemerintah pun sebenarnya nggak tinggal diam. Razia knalpot brong udah sering dilakukan. Tapi selama masih ada bengkel yang pasang, dan ada pasar yang beli, rantai ini terus berputar.
Solusinya bukan cuma penertiban, tapi juga edukasi. Anak muda harus diajak mikir, karena keren itu bukan soal suara keras, tapi soal tanggung jawab. Biar motor tetap jadi simbol kebebasan, tapi tanpa harus ngorbanin hak orang lain untuk hidup tenang.
Karena pada akhirnya, jadi keren itu bukan soal seberapa keras suara motor lo, tapi seberapa lo bisa menghargai sekitar.
(om/ril)