
OTO Mounture — Perdebatan mengenai penggunaan chip kelas konsumen dalam kendaraan kembali memanas setelah Li Fenggang, Wakil Manajer Umum Eksekutif FAW-Audi Sales Co., Ltd., merilis pernyataan video yang menekankan perbedaan mendasar antara chip konsumen dan chip otomotif.
Dikutip dari laman Carnewschina, Li menegaskan bahwa “mobil bukan barang konsumsi cepat saji” dan menambahkan bahwa Audi “tidak akan bereksperimen pada pengguna.”
Pernyataan ini muncul di tengah sorotan publik terhadap peluncuran Xiaomi YU7, mobil listrik pintar yang kabarnya menggunakan chip Qualcomm Snapdragon 8 Gen 3—chip kelas konsumen—untuk sistem kokpitnya. Hal ini memicu perdebatan industri tentang reliabilitas dan keamanan penggunaan chip non-otomotif di kendaraan.
Perbedaan Chip Konsumen dan Otomotif Menurut Audi
Li menjabarkan tiga perbedaan utama antara chip otomotif dan chip kelas konsumen:
1. Lingkungan Operasional
– Chip konsumen dirancang untuk perangkat indoor seperti ponsel dan komputer.
– Chip otomotif harus bekerja di suhu ekstrem: dari -40°C hingga 150°C, tahan terhadap guncangan, debu, kelembapan, dan korosi.
2. Masa Pakai
– Chip konsumen hanya bertahan 3–5 tahun seiring siklus produk yang cepat.
– Chip otomotif dirancang untuk masa pakai 10–15 tahun, dengan jaminan pasokan stabil dan kualitas konsisten antar batch produksi.
3. Margin Keamanan
– Chip konsumen memiliki tingkat cacat hingga 500 PPM (500 per juta unit).
– Chip otomotif mensyaratkan tingkat cacat di bawah 1 PPM, karena kegagalan bisa berdampak fatal bagi keselamatan pengguna.
BACA JUGA: Ini 10 Merek Mobil Terlaris di Indonesia pada Juni 2025
Xiaomi YU7 Gunakan Chip Konsumen: Aman atau Risiko?
Penggunaan Snapdragon 8 Gen 3 oleh Xiaomi di YU7 menuai kritik, terutama karena chip tersebut belum melalui sertifikasi penuh otomotif seperti AEC-Q100 dan ISO 26262.
Kendati demikian, Xiaomi mengklaim bahwa core board kokpit YU7 telah lulus uji AEC-Q104, yaitu standar sertifikasi tingkat sistem untuk multi-chip modules (MCM)—yang mencakup ketahanan panas, tekanan listrik, dan keandalan jangka panjang.
Profesor Zhu Xichan dari Fakultas Otomotif Universitas Tongji, menjelaskan bahwa dalam satu mobil terdapat sekitar 1.000 chip, namun hanya chip yang terkait dengan keselamatan fungsional yang harus lolos sertifikasi keselamatan ISO 26262 dan AEC-Q100. Untuk komponen non-kritis, hanya uji ketahanan dan umur pakai yang diperlukan.
“Penggunaan chip konsumen secara langsung memang bisa lebih murah dan cepat, tetapi tetap harus dibedakan dari chip elektronik rumahan biasa karena versi yang digunakan di mobil masih wajib memenuhi uji ketahanan otomotif tertentu,” ungkapnya dikutip dari laman Carnewschina, Rabu, 16 Juli 2025.
Dilema Industri: Inovasi vs Keamanan
Langkah Xiaomi bukan yang pertama. Tesla juga pernah bereksperimen dengan chip non-otomotif, namun mengalami masalah seperti overheating yang berujung pada penarikan massal.
Kini, dengan tingginya penjualan YU7, muncul kembali pertanyaan mendasar adalah seberapa aman mobil pintar dengan chip non-otomotif di balik kokpitnya?
Sementara sebagian produsen mulai mengadopsi chip konsumen untuk modul non-kritis, brand premium seperti Audi menolak keras pendekatan tersebut, dengan alasan komitmen jangka panjang terhadap keselamatan pengguna.
(om/ril)