
OTO Mounture — Strategi agresif perang harga yang diterapkan oleh BYD, produsen mobil listrik terbesar asal Tiongkok, mulai menunjukkan dampak negatif.
Alih-alih mendongkrak penjualan, perusahaan kini justru harus mengurangi kapasitas produksi, menunda ekspansi pabrik, dan menghadapi peningkatan tekanan dari rantai pasok hingga regulator.
Kebijakan pemangkasan harga yang sempat dianggap revolusioner kini dinilai berisiko mengganggu stabilitas industri otomotif, baik secara internal maupun eksternal.
Dikutip dari Reuters, disebutkan bahwa BYD telah memotong shift malam dan menunda penambahan jalur produksi di beberapa pabrik utama.
Langkah ini diambil akibat persediaan kendaraan yang menumpuk dan penjualan yang tak secepat perkiraan meski harga telah ditekan signifikan.
BACA JUGA:
BYD Tiongkok Diterpa Tuduhan Lembur Tak Dibayar
Dari Gadget ke Garasi: Xiaomi Serius di Otomotif
Data dari China Merchants Bank International mengungkapkan bahwa rata-rata stok kendaraan BYD di jaringan diler mencapai 3,2 bulan, jauh di atas rata-rata industri yang hanya 1,4 bulan.
Beberapa diler bahkan terpaksa gulung tikar akibat tekanan dari target penjualan yang tidak realistis dan arus kas yang memburuk.
Sejak awal 2025, BYD memangkas harga hingga 30% untuk beberapa model, termasuk BYD Seagull, dalam upaya memperluas pangsa pasar.
Namun, strategi ini tidak hanya menyerang kompetitor, tapi juga memicu kekhawatiran regulator. Otoritas Tiongkok menilai perang harga yang tak terkendali ini dapat memicu “kepanikan pasar” dan merusak struktur harga industri secara keseluruhan.
Ironisnya, tekanan ini tidak hanya dirasakan oleh pesaing, tetapi juga oleh BYD sendiri. Pemasok komponen mendesak pemangkasan harga hingga 30%, membuat margin keuntungan dan kualitas produksi terancam.
Meski begitu, BYD masih mampu menjaga margin keuntungan hingga 20% pada kuartal pertama 2025, angka yang tinggi dibandingkan pesaingnya. Hal ini ditopang oleh struktur produksi vertikal yang memungkinkan perusahaan memproduksi baterai dan chip secara mandiri.
Namun analis memperingatkan, jika tekanan pada dealer, pemasok, dan reputasi perusahaan terus meningkat, maka strategi agresif ini justru bisa menjadi bumerang jangka panjang.
“BYD mungkin menang dalam jangka pendek, tapi kestabilan pasar, loyalitas diler, dan tekanan regulator bisa menghantui dalam jangka panjang,” ujar seorang analis industri otomotif kepada media lokal.
(om/ls)