OTO Mounture — Bayangkan Anda sedang berkendara di jalan tol, tiba-tiba bertemu dengan truk besar yang muatannya melebihi kapasitas, berjalan lambat, dan tampak tidak stabil. Kemungkinan besar, itu adalah truk ODOL (Over Dimension Over Load) yang sejak lama menjadi masalah serius di Indonesia.
Truk ODOL bukan hanya ancaman bagi infrastruktur jalan, tapi juga simbol dari kesenjangan antara regulasi dan kenyataan di lapangan.
Ketika satu kendaraan membawa muatan melebihi kapasitas yang diizinkan, konsekuensinya bukan sekadar teknis: ia mengancam keselamatan, membebani negara, dan pada akhirnya, merugikan kita semua.
Jalan Rusak, Anggaran Jebol
Menurut data Kementerian PUPR, kerusakan jalan nasional akibat truk ODOL menyebabkan kerugian negara hingga Rp43 triliun per tahun.
Bahkan, Komisi V DPR RI juga menyebutkan bahwa negara harus menyiapkan anggaran preservasi atau perbaikan jalan setiap tahun senilai Rp 41 triliun akibat truk kelebihan berat. Biaya ini seharusnya bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur lainnya yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
“Kami memprediksi biaya untuk perbaikan, akibat dari over dimension overloading ini, negara harus menyiapkan tiap tahun Rp41 triliun dana preservasi,” kata Ketua Komisi V DPR RI Lasarus di Jakarta, belum lama ini.
BACA JUGA: KTB Donasikan Mitsubishi Fuso Fighter ke SMK Negeri 1 Kamal
Nyawa Melayang di Jalan Raya
Kecelakaan yang melibatkan truk ODOL juga meningkat. Data dari Korps Lalu Lintas Polri mencatat bahwa sepanjang tahun 2017–2021, terjadi 349 kasus kecelakaan yang melibatkan truk ODOL.
Pada tahun 2023 saja, jumlah kasus melonjak menjadi 200 kasus. Mayoritas kecelakaan disebabkan oleh kegagalan sistem rem dan faktor manusia seperti kelelahan pengemudi. Tragisnya, banyak korban adalah pengguna jalan lain yang tidak bersalah.
Dalih Efisiensi yang Menyesatkan
Pelaku usaha sering berdalih bahwa ODOL adalah “kebutuhan operasional” demi efisiensi biaya logistik. Namun, jika efisiensi harus dibayar dengan rusaknya infrastruktur dan melayangnya nyawa di jalan raya, maka itu bukan efisiensi—melainkan pengalihan beban risiko kepada publik.
Logikanya sederhana, biaya logistik murah untuk satu pihak tak boleh dibayar mahal oleh pihak lain, apalagi masyarakat luas.
BACA JUGA: Penjualan Motor di Indonesia Turun 24 Persen pada April 2025
Penegakan Hukum yang Lemah
Pemerintah sebenarnya sudah mencanangkan target “Indonesia Bebas ODOL” sejak beberapa tahun lalu, namun hingga kini masih banyak kendaraan yang lolos dari pengawasan.
Alasannya, timbangan portabel rusak, pos pengawasan minim, dan penegakan hukum yang inkonsisten membuat aturan tinggal slogan.
Sementara itu, pelanggaran terus terjadi, bahkan ada yang terang-terangan memodifikasi truk untuk bisa membawa lebih banyak muatan tanpa izin.
Solusi: Ketegasan dan Konsistensi
Jika serius ingin menyelesaikan masalah ODOL, diperlukan langkah nyata. Mulai dari edukasi kepada pemilik usaha, sanksi tegas, pengawasan yang konsisten, hingga insentif bagi perusahaan yang patuh.
Teknologi juga bisa dimanfaatkan: penggunaan sistem deteksi otomatis di gerbang tol, kamera pemantau berbasis AI, hingga integrasi data kendaraan secara nasional akan sangat membantu penertiban.
Namun, yang paling penting tetaplah keberanian untuk menindak. Tanpa ketegasan, truk ODOL akan terus melenggang, dan jalan-jalan kita akan terus jadi korbannya.
Secara keseluruhan, masalah truk ODOL bukan sekadar soal dimensi dan muatan, tapi tentang siapa yang rela membayar harga dari pelanggaran yang dianggap “biasa”.
Jika negara membiarkan pelanggaran demi efisiensi semu, maka kita sedang membangun kebiasaan buruk yakni menjadikan keselamatan publik sebagai hal yang bisa ditawar.
Sudah saatnya negara tegas. Jalan rusak bisa diperbaiki, tapi nyawa yang hilang tak bisa diganti.
(om/ls)